12.26.2007

sawarna...jadi petualangan karena nggak ada fasilitas

Libur 20-26 Desember kemarin saya manfaatkan untuk kabur dari kota, and the destination was Sawarna. Buat sebagian orang, khususnya surfer dan backpacker, mungkin udah nggak asing lagi nama ini, tapi buat yang belum tau, Desa Sawarna itu letaknya di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini langsung menghadap ke Samudera Hindia, makanya ombaknya yang gede-gede sering dipake surfer untuk latihan. Meskipun udah ditetapkan sebagai desa wisata namun sarana dan prasarana wisatanya belum memadai tuh. Tapi karena sarana dan prasarananya belum memadailah yang menciptakan tantangan bagi perjalanan saya dan kawan-kawan kemaren. Nanti saya ceritain mengapa, tapi sebelumnya perlu saya informasikan bagaimana cara mencapai Sawarna, sesuai pesan orang Sawarna yang ingin desanya lebih dipromosikan.

Dari Jakarta untuk mencapai Sawarna bisa lewat Rangkasbitung-Malingping-Bayah atau lewat Bogor-Pelabuhan Ratu-Bayah. Kalau saya kemaren berangkatnya lewat Rangkasbitung, pulangnya lewat Pelabuhan Ratu biar adil. Dari Jakarta ke Rangkasbitung bisa naik bis dari Kalideres jurusan Rangkasbitung, ongkosnya saya gak tau karena kemaren berangkatnya dari rumah temen di Serpong. Kalo dari Serpong ke Terminal Rangkasbitung sih ongkos bisnya Rp 15ribu. Baru mau masuk terminal Rangkasbitung jangan kaget kalo tau-tau ada orang yang loncat ke bis dan nanyain tujuan kita selanjutnya, karena bisa jadi dia kondektur elp jurusan Bayah yang lagi nyari penumpang. Dia siap bersedia bawain tas kita sampe ke elp-nya, gratis. Tapi naek elp-nya nggak gratis, sampe terminal bayah bayarnya Rp 30ribu seorang. Jaraknya?? Ah, tinggal merem juga nyampe, tapi meremnya 5 jam!! Tips naek elp ke Bayah: pilihlah tempat duduk di jendela demi kesegaran nafas Anda, karena nanti di perjalanan elp itu akan dimuati penumpang 2 kali lipat dari kapasitas seharusnya, kalau bisa duduklah di jendela sebelah kanan, karena nanti pemandangan lautnya akan ada di sebelah kanan, kecuali kalau datangnya dari Pelabuhan Ratu tentunya laut akan ada di sebelah kiri. Selain itu, usahakan tas Anda anti air atau lindungi barang-barang di dalamnya dengan plastik, karena kalau naik elp, tas akan ditaro di atas kap mobil, kalo ujan nggak nanggung.

Selama tidur menuju Bayah, lagu nina bobo yang akan sering Anda dengar adalah: “tarahu..tarahu..tarahu..” (tahu..tahu..tahu..). Yap, elp-nya akan sering berhenti karena supirnya harus silaturahmi dengan handai taulan sepanjang perjalanan, dan setiap berhenti itulah para tukang asongan yang dagang tahu akan ngerubungin elp. Jadi nggak usah takut kelaparan sepanjang perjalanan menuju Bayah, tukang tahu siap melayani Anda.

Dari terminal Bayah tinggal naek ojek, bilang aja Sawarna ke tukang ojeknya, pokoknya sok tau aja, trus tembak aja harganya dari Rp 10ribu-20ribu. Dari terminal ke sawarna makan waktu kurang lebih 10 menit dengan pemandangan yang mantap dan wisata ojek yang tak kalah mantap pula. Kalau beruntung, tukang ojek pun bisa ngasih prolog untuk liburan kita, dibawa ngebut, menukik di kemiringan 60°, sambil diceritain tempat-tempat wisata yang ada di Sawarna, plus menikmati hutan perhutani yang menjadi gerbang Sawarna.

Btw, sebelum naek ojek, tukang ojeknya akan bertanya, “Sawarnanya mana?” maka akan lebih baik jika Anda sudah tahu akan menginap di mana. Kalo saya kemaren langsung nyebut nama sakti, “Pak Hudaya”, nggak ada yang nggak kenal mantan lurah selama 18 tahun ini deh. Bapak ini biasa menerima turis di rumahnya, baik turis lokal maupun impor. Selain menyediakan kamar, istrinya Pak Hudaya juga mau menyediakan makanan 3 kali sehari, jadi sekali lagi, jangan takut kelaparan. Masalah tarif, kalo ditanya ke Bapak dan Ibu Hudaya berapa harganya, mereka akan menjawab, “terserah”. Sepertinya kebanyakan orang Sawarna masih polos, baik hati, dan selalu menerima segalanya dengan ikhlas, karena pas saya nanya ke pemandu kami berapa harga yang dia minta, dia juga jawab, “terserah”. Jadi kira-kira aja ya sendiri. Yang pasti biaya saya liburan di Sawarna kemaren selama 2 malam ditambah ongkos-ongkosnya nggak lebih dari Rp 300ribu.

Selain rumahnya Pak Hudaya masih banyak homestay-homestay yang disediakan penduduk, bahkan kalau mau gratis pun ada, di pesantren.

Keluar dari hutan perhutani tadi, pantai pasir putih yang lebar dan barisan pohon kelapa yang rapi di sebelah kanan, perbukitan di sebelah kiri, dan kerbo-kerbo di tengah jalan jadi panitia penyambutan kedatangan kami di Desa Sawarna. Kebun kelapa di pinggir pantai tadi dulu pertama kali dibuat oleh Mr. (sesuatu) Van Gogh, yang katanya masih ada keturunan Van Gogh yang pelukis tea’.

Untuk urusan jalan-jalan selama di Sawarna saya mengandalkan Pak Mustofa, anaknya yang punya pesantren, guru bahasa inggris untuk siswa SD di sawarna, yang rumahnya di depan rumah Pak Hudaya. Karena kami ber-3, Pak Mustofa memilihkan motor sebagai moda transportasi kami, kalau Anda mau pergi rame2, tentunya moda transportasinya adalah...jalan kaki. Hehehehhe....percuma lah naek mobil juga, gak ada jalannya. Nah, seperti yang saya bilang di atas tadi, ketiadaan sarana dan prasarana jadi tantangan, ketiadaan jalan membuat saya dan kawan-kawan dibawa off-road sama Pak Mustofa cs. Kapan lagi saya naek motor di atas pematang sawah, nerabas ilalang, nyebrang sungai kecil, dan naek bukit dengan kemiringan 60° yang cuma dari tanah, licin pula. Pada akhirnya nyusruk juga sih saya ke semak-semak. Jatoh ke sawah juga pernah. Dan pake acara dorong motornya pula untuk keluar dari genangan lumpur. Tapi jangan kuatir, kejadian ini cuma terjadi pada saya, 2 temen saya yang lain cukup beruntung mendapatkan supir calon-calon pembalap off-road yang ahli.

Tujuan wisata kami selama di Sawarna adalah caving di Goa Lauk dan Goa Lalay, Pantai Legon Pari, Tanjung Layar, Pantai Ciantir, Pantai Pulau Manuk dan Hutan Perhutani. Sebenernya masih ada satu Goa lagi di Sawarna, namanya Goa Langir, tapi goa ini kayanya berbahaya karena terhubung dengan laut, jadi kalo laut pasang, goa ini terendam air laut, ditambah lagi tukang ojek saya waktu dari terminal bayah yang nyeritain kasus di goa langir maka saya nggak berminat dan nggak merekomendasikan pada Anda untuk maen-maen di sana.

Goa Lauk letaknya paling jauh dan paling sulit dijangkau dari penginapan. Motor pun nggak bisa menjangkau, jadi emang harus bertualang, jalan kaki. Perjalanan menuju Goa Lauk mengingatkan saya waktu ospek dulu, jalan di pematang sawah yang ekstra licin (ingat, saya ke sana pada bulan desember, musim hujan!), hiking, merosot-merosot di tanah, dan bahkan lebih parah dari ospek, kemarin kami harus menghadapi kemiringan 80°, nggak bisa nggak, jurus spiderman harus dikeluarkan!! Dan manjatlah gue dengan berpegangan pada batu-batu dan pohon. Dan yang lebih parah, lagi-lagi karena ketiadaan sarana dan prasarana yang menciptakan tantangan, ketika ketemu sungai selebar 10 meter yang arusnya dikit lagi bisa dijadiin modal buat rafting, lemes lah dengkul ketika saya nggak menemukan jembatan!!! Ketika Pak Mustofa bilang, “kita akan menyeberangi sungai ini”, semua bereaksi, “EMANG NGGAK ADA JALAN YANG LAEN?????” bahkan sampe akhir perjalanan pun pertanyaan kami tersebut tidak pernah mendapatkan jawaban positif. Akhirnya dengan tekad bulat setengah gila kami menyeberangi sungai itu satu per satu dengan ditemani 3 orang pemandu kami itu. Sampe di seberang sungai, dengan kaki masih gemeteran karena kencangnya arus tadi kami melanjutkan perjalanan yang masih jauh bener. Lagi-lagi, kita nggak akan kelaparan di Sawarna, selama perjalanan ada aja buah-buahan yang bisa kita petik trus makan dengan cuma-cuma, pisang, kelapa, atau salak.

Akhirnya, setelah 1 jam perjalanan, kami bertemu dengan mulut Goa Lauk yang tersohor itu (taela..). Goa Lauk punya 2 mulut, satu di atas, satu di bawah, kalo mulut yang di bawah tergenang air setinggi paha. Dengan bermodalkan cuma SATU lampu badai kami pun memasuki Goa Lauk dari mulut atas yang kering. Pemandangan di goa tentunya adalah stalagtit dan stalagmit yang masih dalam proses pembentukan, aroma di goa tentunya adalah bau kotoran kelelawar! (what do you expect gitu loh) aktivitas di goa tak lain tak bukan .......manjat-manjat lagi...merosot-merosot lagi. Sebenernya masih banyak ruangan-ruangan di Goa Lauk yang masih bisa dieksplor lagi, tapi harus turun vertikal ke bawah kira-kira sedalam 15 meter. Namun karena modal pemandu kita cuma satu lampu badai tanpa bawa tali, saya nggak mau mengulang lagi falsafah “ketiadaan sarana dan prasarana menciptakan tantangan” tadi di sini, no way!!! Akhirnya kita keluar goa melalui mulut bawah yang tergenang air setinggi paha tadi. Mengingatkan saya pada banjir februari 2007....hiks..hiks..hiks. Perjalanan kembali dari Goa Lauk masih tetap menyusuri jalan
kami datang tadi, untungnya kali ini kita menyeberangi sungai tadi pada titik yang arusnya lebih lemah, tapi tetep aja cukup kenceng sehingga bikin kami jalan miring 45°.

Setelah dari Goa Lauk kami menuju Goa Lalay, motor lagi-lagi diparkir di perkampungan terdekat, untungnya sungai kali ini udah ada jembatannya dan jalannya datar-datar aja. Goa Lalay secara keseluruhan terendam air setinggi betis dan lumpur tebal makanya kami memutuskan untuk nyeker aja. Sumpe deh, nggak tau lumpur nggak tau kotoran kelelawar, tebel banget! Tingginya sampai melebihi pergelangan kaki. Stalagtit dan stalagmit di Goa Lalay udah nggak dalam proses pembentukan kaya Goa Lauk tadi. Unfortunately....baru beberapa puluh meter masuk, lampu kita udah meredup, daripada jadi penghuni tetap Goa Lalay kami pun putar balik. Tapi saya punya berita baik dari Goa Lalay!!! Sebelumnya tumit kaki saya pecah-pecah (ya ampun, malu deh), tapi setelah diterapi lumpur/kotoran kelelawar Goa Lalay tadi ...ajaib....tumit kaki saya mulus kembali!!!!!!whuahahahahaha. Sayangnya hal ini baru saya sadari setelah saya tiba di penginapan dan bersih-bersih. Coba saya sadarnya begitu keluar Goa Lalay, pasti udah saya bawa pulang lumpurnya sekarung trus saya bisnisin, masker lumpur untuk kaki dengan merk LALAY dengan cap kelelawar!! Cukup sekali oles bo’!!!!

Setelah mandi, cuci-cuci baju, celana, dan sepatu, makan, dan shalat, kami melanjutkan wisata lagi ke Pantai Legon Pari. Untuk mencapainya kita wisata off-road yang seperti saya sebutkan tadi. Tau serem gini mendingan jalan kaki aja dah, tapi apa daya, kaki juga udah lemes gara2 perjalanan menuju Goa Lauk tadi. Setibanya di pantai, jreng..jreng...kecewalah kita. Apes bener dah, pantainya banyak sampah, nggak seperti yang diberitakan orang-orang yang pernah ke sana. Sampah yang banyak di pantai itu umumnya SENDAL!!! Sendal dari berbagai ukuran dan merk ada di pantai, niscaya kalo semua dikumpulin, gw bisa buka toko sendal. Setelah diusut, ternyata gw dateng pada musim yang salah. Dasar bodoh, musim hujan kok malah dateng ke pantai. Udah langitnya mendung, keujanan mulu, gelombang pasang laut akan membawa sampah-sampah laut ke pantai termasuk pantai di sepanjang Sawarna. Jadi sendal-sendal tadi? Diperkirakan milik korban tenggelam di laut. Then I had goosebumps. Jadi sodara-sodara, jangan ulangi kebodohan saya yang mengunjungi pantai pada bulan Desember.

Wujud pantai legon pari terdiri dari batu-batu besar dan terumbu-terumbu karang yang sudah mati, namun di beberapa lokasi terdapat kolam-kolam kecil yang masih memiliki terumbu hidup dan beberapa ikan-ikan kecil di dalamnya.

Dari legon pari kami berjalan kaki menyusuri pantai menuju Tanjung Layar. Di Tanjung Layar terdapat 2 bongkah batu ukuran jumbo yang berbentuk layar kapal. Ombak Samudera Hindia yang besar tidak menghalangi keinginan beberapa orang untuk berenang di Tanjung Layar, karena pantai ini dilindungi beting karang sehingga ombak pecah di barisan karang tersebut sebelum mencapai pantai. Untuk menikmati keindahan keseluruhan Tanjung Layar dapat dilakukan di saung di atas bukit di tepi pantai ini. Untuk mencapainya kita dapat menaiki puluhan anak tangga yang lumayan bikin ngos-ngosan, tapi sesampainya di atas, kita bisa melepas lelah di saung sambil menikmati pemandangan luasnya Samudera Hindia, Desa Sawarna, dan ditemani
burung-burung yang sibuk terbang kesana kemari.

Setelah bosan dengan perpantaian di Bulan Desember, kami kembali bermotor menuju Perhutani. Harus diakui pengalaman bermotornya lebih breathtaking daripada di hutannya. Silakan coba sendiri. Di hutan ini ternyata Mandra pernah mencoba shooting film Tarzan kota, rumah pohon buatannya masih berdiri di sini. Namun kata Pak Mustofa shooting di sana gagal dibuat karena Mandra tak kunjung dapat ilham.

Biar katanya udah bosan dengan pantai, tapi tetap saja, pantai tidak bisa dihindari di Sawarna, maka kami menuju Pantai Pulau Manuk yang memang menghadap Pulau Manuk. Alkisah Pulau Manuk dulu merupakan tempat penawanan para Romusha pada zaman penjajahan Jepang dulu yang dipekerjakan di pertambangan batubara.

Pantai ini relatif lebih ramai dibandingkan Pantai Legon Pari, Tanjung Layar, dan Pantai Ciantir. Di pantai ini pula dimana hutan langsung menghadap ke laut. Jadi kalau diperhatikan dengan seksama maka Anda akan dapat melihat gerombolan monyet di balik semak-semak yang bergoyang.

Karena cuaca yang tidak bersahabat, kaki yang sudah gempor, dan bayangan pekerjaan yang menanti, maka kami memutuskan untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Seperti yang telah saya sebutkan tadi, kami pulang melalui Pelabuhan Ratu, dari Sawarna kami bernotor lagi ke Terminal Bayah dan dari sana naik elp jurusan Pelabuhan Ratu dengan ongkos Rp 15ribu dan lama perjalanan hanya 2 jam. Kembali saya sarankan untuk ambil tempat duduk di jendela, dan kembali di sebelah kanan, karena lautnya ada di sebelah kanan lagi. Tiba di Terminal Pelabuhan Ratu saya menyambung naik bis jurusan bogor, bis AC tarifnya Rp 20ribu dan sampai di bogor dalam waktu 3 jam.

Btw, kalau mau tau nomor kontak pak hudaya sang pemilik penginapan dan pak mustofa sang pemandu wisata, silakan japri saya saja. Gratis!

hihihi..papua lagi

Ternyata kesempatan dateng ke papua datang untuk yang kedua kalinya...hehehehehe... walaupun masih cuma ngunjungin Jayapura dan Manokwari tapi kali ini di Manokwari saya sempet-sempetin dateng ke tempat-tempat wisata potensialnya walau cuma punya waktu 4 jam sebelum pulang lagi ke Jakarta.

Kalau ke Manokwari dan ingin jalan2 saya udah menetapkan langganan, namanya Matias, asal Numfor. Dia udah biasa nganterin turis-turis dari lokal sampe mancanegara, bahasa Inggrisnya oke-lah, secara jurusan D3-nya English for tourism. Untuk wisata keliling kota Manokwari atau daerah sekitarnya yang nggak jauh-jauh amat biasanya dia cuma ngenain tarif 50ribu per jam (kalo perginya rame-rame jatohnya jadi murah kok). Kalo untuk wisata yang agak jauh seperti ke pegunungan Arfak atau daerah pedalaman lainnya, tentunya tarifnya akan jadi beda, kalo mau tau paket-paketnya, japri aja ke saya, ntar saya forward-in e-mail penawaran paket wisata dari dia.


Jam 7 pagi Matias menjemput saya di penginapan dan kita langsung meluncur ke luar kota tepatnya ke Danau Kabori. Meskipun letaknya di pinggir jalan, danau ini masih bersih dan bening sekali, yang dateng emang jarang, soalnya belum ada fasilitas wisata sama sekali di sekitar danau. Tapi kayanya enak mancing di sini, suasananya tenang dan akan ditemenin suara burung-burung yang ramai sekali.

Menurut Matias, sebenernya ada danau yang lebih menawan lagi yang letaknya di dataran tinggi, namanya Danau Anggi, di sana ada dua danau yang oleh penduduk dinamakan danau laki-laki dan danau perempuan. Tapi karena waktu saya cuma 4 jam (!!!), saya terpaksa merelakan Danau Anggi dan berbalik arah menuju Hutan Gunung Meja. Hutan ini terletak di lingkungan Universitas Negeri Papua (Unipa) yang biasa digunakan oleh mahasiswa-mahasiswa Unipa untuk penelitian. Walaupun di hutan ini udah dibangun jalan aspal (tapi ancur) kira-kira selebar 3 meter sehingga bisa dilalui mobil, Matias mengajak saya jalan kaki untuk menikmati hutan ini dan kendaraan mengikuti kami dari belakang. Diiringi lagu-lagu Michael Learns to Rock dari angkot (supir angkotnya melankolis juga ya) saya pun mulai menikmati hutan seluas 5 Ha ini. Begitu saya turun dari angkot saya langsung disambut dengan kupu-kupu beraneka warna dan ukuran! Kupu-kupunya terbangnya cepat banget, jadi sangat susah untuk didokumentasikan, saudara-saudara. Cuma yang lagi mendarat ini yang berhasil saya orbitkan di sini.


Selain kupu-kupu tentunya ada burung (yang cuma kedengeran suaranya, wujudnya nggak jelas), laba-laba hutan (saya nggak tau nama spesies ini ada apa nggak, saya cuma ngarang, yang jelas laba-laba kaya gini gak pernah saya liat di kota), kaki seribu (Matias nyebutnya laen, tapi saya lupa dia nyebutnya apa, yang jelas hewan ini kakinya banyak trus badannya bisa melingker), dan uler yang saya gak mau merhatiin lebih lama lagi bentuknya, refleks kabur bo’!

Kalo soal tumbuhan, yang banyak tumbuh tentunya pohon matoa yang tinggi-tinggi, dan di deket pucuk pohon itu biasanya ditumbuhi anggrek, karena letaknnya tinggi jadi saya nggak bisa motret bunganya (maap ya para pecinta anggrek),tapi saya berhasil motret daunnya kok, jadi bisakah Anda menebak jenis anggreknya???


Di puncak, Matias menunjukkan kepada saya tugu peringatan kekalahan Jepang pada perang dunia II yang dibuat oleh pemerintah Jepang pada tahun 1956. Tadinya tugunya dibuat dari perunggu, tapi kata Matias abis itu perunggunya dipretelin orang, akhirnya diganti jadi pake batu aja. Sebenernya dari tugu ini bisa melihat seluruh Kota Manokwari, tapi karena semak-semak yang udah tinggi sekali saya jadi nggak bisa liat apa-apa. Sebagai ganti pemandangan, rekannya Matias, Leo yang sarjana kehutanan, bercerita tentang tentara Jepang nyasar yang pernah dia temui waktu kecil dulu. Jadi ada seorang tentara Jepang (nyebutnya apa sih? Nippon ya?) yang pada jaman PD II dulu terpisah dari pasukan trus bersembunyi ke dalam hutan sampe bartahun-tahun lamanya. Pas ditemukan penduduk pada tahun 80-an dengan rambut sepanjang rambut gadis sunsilk, kulit dekil, dan nggak bisa ngomong bahasa lain selain bahasa Jepang, dia masih takut-takut ngadepin orang. Kemudian didatengin lah penerjemah bahasa Jepang khusus dari Jakarta untuk ketemu dia, setelah ngerumpi-rumpi, diketahuilah bahwa dia kira dunia masih perang. Akhirnya tentara ketinggalan kereta itu pun dipulangkan ke keluarganya di Jepang.

Hari sudah mulai siang, saya harus segera kembali ke penginapan untuk bersiap-siap pulang, tapi yang namanya alam Papua (Barat) yang beda sama Jawa, saya nggak bisa nahan godaan untuk mampir dulu di puncak bukit memandangi kapal Pelni yang akan masuk Pelabuhan, kapal yang kayanya jadi impian Leo untuk dinaikin, istirahat di pantai sambil minum air kelapa muda, baru pulang.

Dasar apes, udah jalan-jalannya dipersingkat demi nggak ketinggalan pesawat jam 13.15, nggak taunya pesawatnya didelay sampe jam 17.30!!!!!! Sakit kepala gw.